Rabu, 05 November 2008

puisi: Mencari Getar Hati

Mencari Getar Hati

Ketika hati tak lagi bergetar sewaktu ayat-ayatNya dibacakan

Tanya pun menajuk

Bukankah hati yang menggerakkan jisim, meluruskan penyelewengan yang kerap dibisikkan

Innamalmukminuna idza dzukirallahu wa jilat qulubuhum

Selepas menepi seharusnya ketenangan bergaung

Menghayati makna hidup setelah kehidupan

Angan berserabutan menyeruak, mengisi kekosongan ruang hampa

Bahkan sekedar menyebut namaMu lidah mengelu

Berguling pada luka yang tercabik

Menderas

Terombang-ambing dalam labirin gelap tanpa lorong

Mencoba menemukan cintaMu kembali

Rabbi, di sudut ini ada hambaMu yang sedang tersesat

Meskipun keyakinan pada kemahatahuanMu tak sedikit pun meragu

Rabbi, betapa hati ini merindukan sentuhan kasihMu, cahayaMu

Setelah dunia dan kedurjanaan mencabik-cabiknya, tak meyisakan setitik pun cahaya

Rabbi, sambil menanti kehadiran Izrail, izinkan hati ini memelukmu

Dalam kesendirian, kehampaan, dan kehinaan

Terus ku berjalan, tertatih mencari keberadaan cintaMu

Sebelum kefanaan menjebak, menuntun pada bait penyesalan

Ketika keimanan hanya berdiri di titik nol

Padahal ayat-ayatMu kerap dibacakan lewat menara Baiturrahman

Wa idza tuliyat ‘alaihim ayatuhu zadathum imana

Rabbi, dengan dosa yang tergenggam di kedua tangan

Dan tubuh berbalur aroma kemaksiatan

Kucoba mencari getar hati yang semakin melemah

Kucoba berdamai dengan wujud kelam bernama kehidupan

Lewat terompah harap

Kudaki jalan terjal, sisa para pengembara berwajah cahaya

Berharap getar itu kutemukan kembali

Banda Aceh, 8 Juni ‘08 (untuk seluruh FLP-ers, jazakumullah)

Minggu, 02 November 2008

puisi: Tanyaku pada Ibu

Tanyaku pada Ibu

Ibu, betulkah cintamu sepanjang jalan

Tapi, kenapa engkau tega mengutukku menjadi abu

Jawablah Ibu, agar resahku tentang cintamu tidak lagi menyaru

Melenggang pada tapal batas harap, sedikit pun tak kutemukan cemas di wajahmu

Ketika perlahan dan sembunyi-sembunyi engkau menitipkanku pada jalan nasib

Kulihat sedihmu, tetapi hatiku yang dicucuri air mata

Ibu, wajahmu kerap kulukis pada tanah merah

Dengan nisan tanpa nama sebagai sandaran

Dan cintamu kucoba eja lewat bait-bait yang kususun dari huruf-huruf sepi

Tetap ku tak sampai; semakin kupercepat gerak tangan dan lidahku

Tubuh semakin kaku hingga ambruk pada tanah merah, oleh darah

Kaupergi, kembali, pergi

; tak ada sisa baumu kuindrai

Ibu, kudengar orang-orang berkata, “Anak itu jadah”

Padahal jika ku berkaca, rautku sungguh serupa dengan mereka

Benarkah

Hanya engkau yang tahu siapa lelaki itu

Namun, rinduku padanya takkan sebesar kebencian yang diwariskan kehidupan kepadamu

dan kegelapan pun menari

Ibu, sering kubayangkan engkaulah Mariyam, tapi tak pernah lama

Sebab satu tetaplah satu, tak pernah menjadi dua atau tiga

Dan saban waktu mimpi-mimpi itu bersetubuh dengan jasadku, membawa kabar luka

Bahwa lelaki itu memaksamu, Ibu

Ibuku wanita ayu

Tidak, Ibuku perempuan berilmu

Salah, Ibuku tukang jual jamu

Dengkulmu, Ibumu adalah sundal seharga lima ribu

Kulukis awan-awan kecil pada langit rindu, berharap kauhadir dan membawaku

Ingin kureguk sebanyak mungkin aromamu sebelum kesadaran berkunjung

Memperdengarkan padaku nyanyian-nyanyian sesat tentangmu

Ibu, di mana harus kupelajari makna cintamu

Sementara diriku tak pernah dicintai

Benarkan, Ibu

Hingga mati pun, engkau tetap membisu

Hanya tatap sendumu yang masih memelukku

Menyisakan uap cinta tanpa pernah sempat menjadi hujan

Menggigil, ku berlari, mengejarmu, jejak-jejakmu

“Berbaliklah, aku ada di belakangmu”

Perempuan itu tersenyum dengan segenggam cinta di tangannya

Kaupergi, kembali, mengajariku makna cinta pada seorang lelaki

Cinta yang melemparku pada sunyi

; Juga benci

essai: Memaknai Salam

Memaknai Salam Sebagai Upaya Wujudkan Kepedulian

Dari Abdullah bin Salam berkata: Ketika Rasulullah saw hendak datang di Madinah, manusia pada menunggu-nunggu dan saling memberi kabar: Rasulullah datang, Rasulullah datang. Aku datangi kerumunan manusia. Ketika aku pastikan bisa melihat wajah Rasulullah saw, maka aku yakin bahwa raut wajahnya bukan tipe wajah pembohong. Dan pertama kali yang beliau ucapkan adalah: “Sebarkanlah salam, berilah makan orang yang membutuhkan, sambunglah persaudaraan dan shalat malamlah ketika manusia pada tertidur. Maka anda akan masuk surga dengan selamat.” ( Tirmidzi, Jilid 9, Halaman. 25)

Adakah taujih yang lebih indah selain jaminan masuk surga dari lelaki yang digelari alamin? Jika pun ada, hal itu sungguh tidak akan mengurangi keindahan kata-kata rasulullah di atas. Ketika hal-hal biasa menjadi jalan untuk mendapatkan sesuatu yang luar biasa; surgaNya.

Sebarkanlah salam. Tentang hal ini, secara terpisah, Rasulullah pernah pula bersabda;

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian benar dalam keimanan kalian. Dan kalian tidak akan sampai meraih keimanan yang benar sampai kalian saling mencintai di antara kalian. Maukah Aku tunjukkan perkara yang apabila kalian laksanakan kalian akan saling mencintai? “Sebarkan salam di antara kalian.” (Shahih Muslim, Jilid I, Halaman 180)

Seberapa istimewanya salam, hingga surga pun dijanjikan oleh Rasulullah? Para ulama sepakat, bahwa kemuliaan “memberikan salam” terletak pada kekuatannya untuk membuka pintu kebaikan yang berikutnya. Ketika seseorang memberikan salam, orang tersebut (disadari atau tidak) telah membuka pintu kedamaian, keselamatan, kasih sayang, dan kepedulian. Ada cinta dan penghormatan di sana. Dan semuanya muncul secara spontan, tanpa harus memandang pada siapa salam itu diberikan. Bahkan, terhadap orang yang tidak kita kenal sekali pun.

Dalam surat An-Nisa, ayat 86, Allah berfirman;

”Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.”

Dan penghormatan yang dimaksud disini ialah mengucapkan assalamu’alaikum dengan tulus ikhlas.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, salam menjadi awal bagi kebaikan-kebaikan yang lain. Salah satunya adalah kepedulian terhadap sesama. Setelah melewati Ramadan, bulan penuh berkah, selama sebulan penuh, seharusnya empati terhadap sesama akan jauh lebih kuat. Dan tuntunan syariat telah digariskan, bahwa pada akhir ramadan hingga sesaat sebelum pelaksanaan shalat hari raya idul fitri, masing-masing pribadi muslim diwajibkan membayar zakat untuk kemudian dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Kenapa? Karena kepedulian akan menjadi jauh lebih bermakna ketika dibarengi dengan kerja nyata.

Dan Allah s.w.t sangat membenci orang-orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap sesama. Dalam surat Al Maun, ayat 1-3, Allah berfirman;

”Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”

Pada serakan hari, setelah melewati tarbiah bulan suci ramadan, kembali kita menata hati. Sebarkanlah salam dan wujudkan kepedulian, maka impian kita tentang negeri yang diberkahi Allah sebagai negeri yang baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur, akan segera menjadi kenyataan. Insyaallah! (rinal sahputra)

essai: Memaknai Salam

Memaknai Salam Sebagai Upaya Wujudkan Kepedulian

Dari Abdullah bin Salam berkata: Ketika Rasulullah saw hendak datang di Madinah, manusia pada menunggu-nunggu dan saling memberi kabar: Rasulullah datang, Rasulullah datang. Aku datangi kerumunan manusia. Ketika aku pastikan bisa melihat wajah Rasulullah saw, maka aku yakin bahwa raut wajahnya bukan tipe wajah pembohong. Dan pertama kali yang beliau ucapkan adalah: “Sebarkanlah salam, berilah makan orang yang membutuhkan, sambunglah persaudaraan dan shalat malamlah ketika manusia pada tertidur. Maka anda akan masuk surga dengan selamat.” ( Tirmidzi, Jilid 9, Halaman. 25)

Adakah taujih yang lebih indah selain jaminan masuk surga dari lelaki yang digelari alamin? Jika pun ada, hal itu sungguh tidak akan mengurangi keindahan kata-kata rasulullah di atas. Ketika hal-hal biasa menjadi jalan untuk mendapatkan sesuatu yang luar biasa; surgaNya.

Sebarkanlah salam. Tentang hal ini, secara terpisah, Rasulullah pernah pula bersabda;

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian benar dalam keimanan kalian. Dan kalian tidak akan sampai meraih keimanan yang benar sampai kalian saling mencintai di antara kalian. Maukah Aku tunjukkan perkara yang apabila kalian laksanakan kalian akan saling mencintai? “Sebarkan salam di antara kalian.” (Shahih Muslim, Jilid I, Halaman 180)

Seberapa istimewanya salam, hingga surga pun dijanjikan oleh Rasulullah? Para ulama sepakat, bahwa kemuliaan “memberikan salam” terletak pada kekuatannya untuk membuka pintu kebaikan yang berikutnya. Ketika seseorang memberikan salam, orang tersebut (disadari atau tidak) telah membuka pintu kedamaian, keselamatan, kasih sayang, dan kepedulian. Ada cinta dan penghormatan di sana. Dan semuanya muncul secara spontan, tanpa harus memandang pada siapa salam itu diberikan. Bahkan, terhadap orang yang tidak kita kenal sekali pun.

Dalam surat An-Nisa, ayat 86, Allah berfirman;

”Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.”

Dan penghormatan yang dimaksud disini ialah mengucapkan assalamu’alaikum dengan tulus ikhlas.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, salam menjadi awal bagi kebaikan-kebaikan yang lain. Salah satunya adalah kepedulian terhadap sesama. Setelah melewati Ramadan, bulan penuh berkah, selama sebulan penuh, seharusnya empati terhadap sesama akan jauh lebih kuat. Dan tuntunan syariat telah digariskan, bahwa pada akhir ramadan hingga sesaat sebelum pelaksanaan shalat hari raya idul fitri, masing-masing pribadi muslim diwajibkan membayar zakat untuk kemudian dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Kenapa? Karena kepedulian akan menjadi jauh lebih bermakna ketika dibarengi dengan kerja nyata.

Dan Allah s.w.t sangat membenci orang-orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap sesama. Dalam surat Al Maun, ayat 1-3, Allah berfirman;

”Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”

Pada serakan hari, setelah melewati tarbiah bulan suci ramadan, kembali kita menata hati. Sebarkanlah salam dan wujudkan kepedulian, maka impian kita tentang negeri yang diberkahi Allah sebagai negeri yang baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur, akan segera menjadi kenyataan. Insyaallah! (rinal sahputra)

Resensi Buku: Istana Kedua


Istana Kedua, dari Kisah Dongeng, Poligami, hingga Wajah Perempuan Indonesia Masa Kini

Judul: Istana Kedua

Penulis: Asma Nadia

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: 2007

Tebal: 248 halaman

Mungkin, dongeng seorang perempuan harus mati, agar dongeng perempuan lain mendapatkan kehidupan.

Ketika membuka novel yang berjudul “Istana Kedua”, kalimat di atas akan kita temukan di lipatan sampul depan. Kalimat yang hanya tersusun dari dua belas kata, namun menjadi nyawa bagi keseluruhan cerita yang berjumlah 248 halaman.

Novel yang diterbitkan oleh Gramedia sekaligus peraih adikarya IKAPI 2008 ini menceritakan tentang seorang perempuan, bernama Arini, alumni IPB yang juga seorang akhwat, sebutan untuk perempuan yang aktif di kegiatan keislaman. Arini muda memiliki karakter yang sedikit aneh dibandingkan rekan-rekan kosnya yang lain.

Hal ini terkait dengan kegemarannya akan dunia dongeng. Bahkan ketika untuk pertama kalinya bertemu kembali dengan Andika Prasetya, lelaki yang kemudian menjadi suami sekaligus ayah bagi dua anak mereka, Arini memandang pertemuan itu tak ubahnya bagaikan dongeng. Dongeng yang kemudian terus berlanjut hingga usia pernikahan Arini tiba pada angka lima belas tahun.

Dongeng-dongeng telah mati, ketika Arini tahu Pras mengkhianatinya.

Sebuah kabar lewat telepon dari Hani, bagian keuangan di kampus tempat Pras mengajar, menjadi awal bagi Arini mengenal kata “luka”- tepat di angka lima belas tahun pernikahan mereka. Luka akibat pengkhianatan Pras. Hani menelepon hanya untuk menanyakan hal-hal yang biasa saja, seputar anak-anak yang sakit. Namun, pertanyaan tersebut mengantarkan Arini pada kenyataan baru bahwa dia bukanlah satu-satunya nyonya Prasetya yang ada.

Kepiawaian Asma Nadia dalam menyusun satu persatu bagian kehidupan para tokoh dalam novel ini dengan menggunakan sudut pandang orang pertama sepatutnya diberikan acungan dua jempol. Meskipun, pemilihan teknik seperti ini akan menuntut pembaca untuk lebih berhati-hati dan lebih sabar dalam mengikuti alur cerita.

Apa yang akan dilakukan Arini ketika mengetahui suaminya telah membagi cintanya kepada perempuan lain? Pertanyaan ini terus menghantui pembaca dan menjadi daya pikat, mengingat, baik Arini maupun Pras, keduanya sama-sama berasal dari lingkungan yang agamais. Tentunya, para pembaca berharap pola pikir dan cara penyelesaian masalah mereka akan berbeda.

Dan pertanyaan di atas seharusnya mewakili pertanyaan yang lain, bagaimana seharusnya seorang muslimah bersikap ketika suatu hari, sesudah usia pernikahannya memasuki angka lima belas, menemukan realita yang sungguh menyakitkan; suaminya menikah lagi?

Lewat Istana Kedua, Asma Nadia memberi ruang selebar mungkin kepada para pembaca untuk memilih sendiri solusinya. Mau seperti pilihan Arini atau pun sebaliknya.

Membaca novel Istana Kedua ini, ada beberapa fakta yang sangat menarik untuk dicermati. Yang pertama, bahwa setiap manusia memiliki sifat dasar yang sama, khususnya masalah ketertarikan terhadap lawan jenis.

Sebelum masa-masa galaunya, Arini sering mendengar keluhan tentang kehidupan rumah tangga sahabat-sahabatnya dulu. Dan semuanya bermuara pada masalah yang sama; perselingkuhan, meskipun motif dan jalan yang dipilih oleh masing-masing mereka berbeda. Padahal, dulunya, sebagian dari sahabat-sahabatnya itu adalah aktivis dakwah kampus. Hal ini seolah mempertegas bahwa masa depan tak pernah bisa diduga-kira.

Fakta yang lain adalah tentang kelemahan lelaki dalam menghadapi daya tarik fisik wanita. Dan hal itulah yang mungkin menyebabkan Freud, salah seorang pakar dalam bidang ilmu psikologi sempat mencetuskan teori psikoanalisa, yang menyebutkan bahwa hal mendasar yang menggerakkan seluruh komponen tubuh manusia adalah keinginan seksual.

Tokoh Andika Prasetya dalam novel ini menjadi salah satu contohnya. Ketidakmampuan Pras untuk membentengi diri dari perzinaan dengan perempuan cina-Mei Rose yang ditolongnya-lah yang kemudian membuat Pras mengambil keputusan untuk menikahi perempuan tersebut. Kenyataannya, pernikahan itu bukan hanya didasari oleh rasa kasihan Pras, tetapi juga oleh nafsu kelelakiannya saat berhadapan dengan makhluk yang bernama wanita.

Status yang didapatkan setelah satu kesalahan yang mereka buat malam itu. Ketika ia tidak bisa lagi menolak Mei Rose.

Setiap tulisan sudah seharusnya memiliki “tujuan”. Terlebih tulisan dari para anggota FLP, suatu forum kepenulisan di mana Asma Nadia juga tergabung di dalamnya, tak pernah keluar dari jalur “tujuan” tersebut. Dan jika ditanya, apa yang menjadi tujuan buku ini, jawabannya mengarah pada poligami. Pada bagian ke-21, lewat tokoh Pras, Asma Nadia mengungkapkan pendapatnya yang sangat cerdas tentang poligami tanpa ada kesan menggurui sedikit pun. Istimewanya lagi, lewat novel ini, Asma Nadia mampu mengeksplorasi perasaan masing-masing tokoh, yaitu Arini-sebagai istri pertama, Mei Rose-istri kedua, dan Andika Prasetya-selaku suami dengan sangat baik.

Terlepas dari teknik penceritaannya dan banyak hal lain yang sungguh memikat dalam buku ini, terdapat beberapa kejanggalan terkait dengan logika bercerita. Ketika Pras secara kebetulan menolong Mei Rose, kenapa pada hari-hari berikutnya, Pras tidak mengajak Arini ikut serta untuk menjenguk Mei Rose. Bukankah perempuan seharusnya lebih mengerti perasaan perempuan yang lain? Dan dalam pandangan agama, tentunya itu jauh lebih baik dan aman.

Kejanggalan berikutnya, bagaimana mungkin Pras mampu membohongi Arini dalam jangka waktu yang begitu lama, lebih dari tiga tahun tanpa ada perasaan bersalah, kecuali yang dimunculkan pada saat detik-detik terakhir dari cerita. Lagi pula, Pras menikahi Mei Rose setelah lelaki itu terjebak dalam sesuatu yang diistilahkan “jurang kehinaan”. Bagi seorang laki-laki dengan background agama yang kuat, seharusnya perasaan bersalah terus menghantui kehidupan Pras karena pernikahan tidak akan mampu membersihkan Pras dari dosa yang telah diperbuatnya.

Dan yang terakhir, betulkah Pras mencintai Arini? Karena pada akhir cerita, ternyata Pras lebih memilih Mei Rose. Padahal, anak yang dimiliki Mei Rose bukanlah anak kandung Pras. Atau memang seperti itukah wujud sebenarnya cinta? Kerap menghadirkan bahagia dan luka. Mei Rose yang bahagia, Arini yang terluka.

Arini berhenti berlari. Tak lagi berusaha menghindar dari luka. Sebaliknya, seperti busa, tubuh Arini perlahan mengisap anak-anak panah yang menyimpan perih itu semakin dalam, hingga menyatu dalam diri.

Paragraf di atas sekaligus menjadi ending cerita. Namun, benarkah Arini memilih untuk berhenti berlari? Seperti itukah wajah perempuan indonesia masa kini dalam menghadapi masalah poligami? Istana Kedua, pilihan yang tepat untuk mengisi waktu luang anda.

cerpen:Lukisan Senja

Lukisan Senja

Kabar baru saja menyebar ke seluruh penjuru negeri. Tentang seorang perempuan dengan seperangkat peralatan lukisnya. Duduk membisu pada tepian pantai, membiarkan kaki-kaki ombak menjilati jemari kakinya dan menatap jauh ke arah laut lepas. Tepat sesudah asar, perempuan itu sudah ada di sana. Dan hingga menjelang maghrib, tangannya terus bergerak di sepanjang kanvas. Orang-orang menyebutnya perempuan senja. Juga mereka tak henti berbisik dari satu kuping ke kuping yang lain bahwa perempuan itu gila. Dan lautlah yang telah merenggut seluruh kewarasannya.

Adakah orang gila yang melukis? Pada suatu senja, ketika awan-awan menghias langit dengan siluet keperakan, kusempatkan diri menemui perempuan itu. Butuh waktu satu jam untuk tiba di sana, sebelum aroma garam mengepungku. Pun ombak yang tak henti berkejaran. Sementara butir-butir pasir terasa begitu lembut, sekaligus panas saat kuputuskan melepaskan sepatu, berjalan dengan kaki telanjang.

Saat mendengar bebisik warga, aku membayangkan sang perempuan adalah peri yang kerap mendatangiku pada malam-malam sepi. Dengan pakaian berwarna putih dan sayap bianglala, aku berharap perempuan itu akan membawaku ke dalam dunia heningnya. Tetapi, kenyataan menyadarkanku, bahwa itu hanyalah mimpi.

Perempuan di sana-beberapa tombak dari tempatku berdiri, adalah perempuan yang akan selalu dihindari oleh para lelaki. Tidak ada senyum di wajahnya, apalagi cinta. Menatap ke dalam kedua matanya, hanya ada kegelapan. Sejenak, kegelisahan menari-nari. Wujud sang perempuan telah melemparku jauh menuju lorong-lorong sunyi masa lalu.

“Bang, aku ingin melukis senja untukmu!”

Aku hanya tertawa sambil memeluknya kian erat. “Kenapa harus senja? Bukankah gunung, laut, atau gambar-gambar lain jauh lebih menarik untuk kaulukis?”

“Tapi, hanya senja yang ingin kulukis untukmu. Kita bertemu pada suatu senja dan Abang melamarku juga pada saat senja. Memutuskan menikah, bahkan sewaktu melahirkan anak pertama kita, senja selalu menyertai. Aku ingin melukis senja untukmu karena aku mencintaimu seperti senja yang tak pernah henti menghantarkan langit menuju gelap malam.”

Dan senja pun basah oleh kebahagiaan. Namun, senjalah yang kemudian menjadi saksi ketika air mata mulai mendatangi. Hari-hari penuh pertengkaran, luka yang kian dalam tertorehkan pada hati masing-masing, keegoan meraja, hingga puncaknya pada suatu senja. Perempuanku pergi, membawa kecewa bersamanya, juga lukisan senjanya untukku.

Adakah kau di sana, perempuanku? Kegamangan menyapa. Namun, perempuan itu seolah tak menyadari keberadaanku di sampingnya. Tangannya bergerak lincah, memulaskan campuran cat dengan warna beragam pada permukaan kanvas. Bukan laut yang dilukisnya, meskipun mata perempuan itu seperti tak berkedip memandang ke sana.

Senja kian memerah dan rangkuman angin semakin kencang menerpa, membawa aroma garam pekat. Sedangkan senja pada lukisan sang perempuan kian basah oleh air mata.

essai: Bertanya Pada Negeri

Bertanya pada Negeri, Seberapa Besar Engkau Mencintai Kami?

John F.Kennedy, salah satu presiden Amerika, sebelum tewas pernah berbicara di hadapan para pendukungnya, “Jangan pernah bertanya apa yang sudah negara berikan untukmu. Tetapi, tanyakanlah, apa yang sudah engkau berikan untuk negara.” Kalimat yang tidak begitu panjang, namun mampu menjadi pelecut semangat bagi rakyat Amerika untuk lebih mencintai negaranya.

Dan kita? Apa yang sudah kita berikan untuk negara? Bahkan, hingga usia negeri ini sudah mulai memasuki “keuzurannya”.

Tapi, berbicara tentang “beri-memberi”, ada sesuatu yang sungguh penting untuk dimiliki terlebih dahulu. Cinta. Akan menjadi kering dan menggerontang ladang hati ketika cinta tak menyapa. Hingga, negara pun menjadi urutan kesekian dalam hati masing-masing kita. Atas dasar cinta itulah, maka kerap kita mendengar atau membaca, bahkan menulis, istilah cinta tanah air pada setiap pelajaran PPKn. Materi-materi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pun menjadi materi wajib. Bahkan pada setiap ujian tulis PNS, nilai-nilai kenegaraan tak pernah luput diujikan.

Untuk apa semuanya itu? Bukankah dana yang dikeluarkan pemerintah sangat tidak sedikit untuk menyukseskan program-program sosialisasi nilai-nilai kenegaraan? Sambil menutup mata pun, jawabannya sudah ada dalam batok kepala kita. Cinta. Negeri ini menginginkan kita mencintainya.

Adakah negara yang tidak menginginkan rakyatnya mencintai negara tersebut? Tidak ada. Setiap negara tahu, bahwa kesuksesan bernegara, salah satunya terletak pada seberapa besar rakyatnya mencintai tanah air mereka sendiri. Karena, dari cinta tersebut akan muncul pengorbanan (jiwa-raga) dan memberikan hal yang terbaik untuk negara. Orang jaman dulu menyebutnya, “Berjuang tampa pamrih demi negeri”. Bahkan islam pun menempatkan konsep cinta tanah air sebagai bagian dari keimanan.

Jadi, sudahkah kita mencintai negeri ini? Seberapa besar cinta kita itu? Dan sudahkah kita merealisasikan cinta yang kita miliki dalam wujud nyata sebagai semangat membangun negeri? Masing-masing kitalah yang mengetahui jawabannya. Namun, jika pertanyaan itu diajukan ke saya, lantang saya akan menjawab, “Seberapa besar negeri ini mencintai saya?”

puisi: Pada Reranting

Pada Reranting


Pada reranting air mata

kunisbatkan puji dan puja

penuh rindu merajut jalan cinta

:tenggelam ku dimabuk rasa


Pada reranting kering penuh kelu

Kutambatkan tautan rindu untukmu

Dan gerai yang dulunya pernah menyatu

:terbenam, pecah oleh tikaman malu


Pada gigil reranting sepi

Kutampik sejumput asa

Menghalau bayang-bayang wajahmu

Dan sejuta bendungan pun kubangun di hujung sujudmu

:meski kutahu, keberadaanmu bagiku tetap abadi


Lanskap kita kian berpayau

Sementara tangismu masih bergema

Saat kutitipkan rindu pada setiap rerantingmu

: sambil memeluk lutut, kau berbisik, “aku mencintaimu”


Pada reranting terakhir

Dengan dada dipenuhi gemuruh

Kususuri galur peristirahatanmu

Menceritakan kembali mimpi-mimpi kita

Tentang rumah dari reranting

Dan anak-anak yang bermain di sepanjang rima

: kau memelukku dan berbisik, “jangan lagi pergi. Aku ingin berbagi reranting denganmu”


Pada reranting air mata

Kugurat puji dan puja

: semoga kau tak lagi termangu di bawah reranting nisan kita