Minggu, 02 November 2008

cerpen:Lukisan Senja

Lukisan Senja

Kabar baru saja menyebar ke seluruh penjuru negeri. Tentang seorang perempuan dengan seperangkat peralatan lukisnya. Duduk membisu pada tepian pantai, membiarkan kaki-kaki ombak menjilati jemari kakinya dan menatap jauh ke arah laut lepas. Tepat sesudah asar, perempuan itu sudah ada di sana. Dan hingga menjelang maghrib, tangannya terus bergerak di sepanjang kanvas. Orang-orang menyebutnya perempuan senja. Juga mereka tak henti berbisik dari satu kuping ke kuping yang lain bahwa perempuan itu gila. Dan lautlah yang telah merenggut seluruh kewarasannya.

Adakah orang gila yang melukis? Pada suatu senja, ketika awan-awan menghias langit dengan siluet keperakan, kusempatkan diri menemui perempuan itu. Butuh waktu satu jam untuk tiba di sana, sebelum aroma garam mengepungku. Pun ombak yang tak henti berkejaran. Sementara butir-butir pasir terasa begitu lembut, sekaligus panas saat kuputuskan melepaskan sepatu, berjalan dengan kaki telanjang.

Saat mendengar bebisik warga, aku membayangkan sang perempuan adalah peri yang kerap mendatangiku pada malam-malam sepi. Dengan pakaian berwarna putih dan sayap bianglala, aku berharap perempuan itu akan membawaku ke dalam dunia heningnya. Tetapi, kenyataan menyadarkanku, bahwa itu hanyalah mimpi.

Perempuan di sana-beberapa tombak dari tempatku berdiri, adalah perempuan yang akan selalu dihindari oleh para lelaki. Tidak ada senyum di wajahnya, apalagi cinta. Menatap ke dalam kedua matanya, hanya ada kegelapan. Sejenak, kegelisahan menari-nari. Wujud sang perempuan telah melemparku jauh menuju lorong-lorong sunyi masa lalu.

“Bang, aku ingin melukis senja untukmu!”

Aku hanya tertawa sambil memeluknya kian erat. “Kenapa harus senja? Bukankah gunung, laut, atau gambar-gambar lain jauh lebih menarik untuk kaulukis?”

“Tapi, hanya senja yang ingin kulukis untukmu. Kita bertemu pada suatu senja dan Abang melamarku juga pada saat senja. Memutuskan menikah, bahkan sewaktu melahirkan anak pertama kita, senja selalu menyertai. Aku ingin melukis senja untukmu karena aku mencintaimu seperti senja yang tak pernah henti menghantarkan langit menuju gelap malam.”

Dan senja pun basah oleh kebahagiaan. Namun, senjalah yang kemudian menjadi saksi ketika air mata mulai mendatangi. Hari-hari penuh pertengkaran, luka yang kian dalam tertorehkan pada hati masing-masing, keegoan meraja, hingga puncaknya pada suatu senja. Perempuanku pergi, membawa kecewa bersamanya, juga lukisan senjanya untukku.

Adakah kau di sana, perempuanku? Kegamangan menyapa. Namun, perempuan itu seolah tak menyadari keberadaanku di sampingnya. Tangannya bergerak lincah, memulaskan campuran cat dengan warna beragam pada permukaan kanvas. Bukan laut yang dilukisnya, meskipun mata perempuan itu seperti tak berkedip memandang ke sana.

Senja kian memerah dan rangkuman angin semakin kencang menerpa, membawa aroma garam pekat. Sedangkan senja pada lukisan sang perempuan kian basah oleh air mata.

Tidak ada komentar: