Minggu, 02 November 2008

Resensi Buku: Istana Kedua


Istana Kedua, dari Kisah Dongeng, Poligami, hingga Wajah Perempuan Indonesia Masa Kini

Judul: Istana Kedua

Penulis: Asma Nadia

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: 2007

Tebal: 248 halaman

Mungkin, dongeng seorang perempuan harus mati, agar dongeng perempuan lain mendapatkan kehidupan.

Ketika membuka novel yang berjudul “Istana Kedua”, kalimat di atas akan kita temukan di lipatan sampul depan. Kalimat yang hanya tersusun dari dua belas kata, namun menjadi nyawa bagi keseluruhan cerita yang berjumlah 248 halaman.

Novel yang diterbitkan oleh Gramedia sekaligus peraih adikarya IKAPI 2008 ini menceritakan tentang seorang perempuan, bernama Arini, alumni IPB yang juga seorang akhwat, sebutan untuk perempuan yang aktif di kegiatan keislaman. Arini muda memiliki karakter yang sedikit aneh dibandingkan rekan-rekan kosnya yang lain.

Hal ini terkait dengan kegemarannya akan dunia dongeng. Bahkan ketika untuk pertama kalinya bertemu kembali dengan Andika Prasetya, lelaki yang kemudian menjadi suami sekaligus ayah bagi dua anak mereka, Arini memandang pertemuan itu tak ubahnya bagaikan dongeng. Dongeng yang kemudian terus berlanjut hingga usia pernikahan Arini tiba pada angka lima belas tahun.

Dongeng-dongeng telah mati, ketika Arini tahu Pras mengkhianatinya.

Sebuah kabar lewat telepon dari Hani, bagian keuangan di kampus tempat Pras mengajar, menjadi awal bagi Arini mengenal kata “luka”- tepat di angka lima belas tahun pernikahan mereka. Luka akibat pengkhianatan Pras. Hani menelepon hanya untuk menanyakan hal-hal yang biasa saja, seputar anak-anak yang sakit. Namun, pertanyaan tersebut mengantarkan Arini pada kenyataan baru bahwa dia bukanlah satu-satunya nyonya Prasetya yang ada.

Kepiawaian Asma Nadia dalam menyusun satu persatu bagian kehidupan para tokoh dalam novel ini dengan menggunakan sudut pandang orang pertama sepatutnya diberikan acungan dua jempol. Meskipun, pemilihan teknik seperti ini akan menuntut pembaca untuk lebih berhati-hati dan lebih sabar dalam mengikuti alur cerita.

Apa yang akan dilakukan Arini ketika mengetahui suaminya telah membagi cintanya kepada perempuan lain? Pertanyaan ini terus menghantui pembaca dan menjadi daya pikat, mengingat, baik Arini maupun Pras, keduanya sama-sama berasal dari lingkungan yang agamais. Tentunya, para pembaca berharap pola pikir dan cara penyelesaian masalah mereka akan berbeda.

Dan pertanyaan di atas seharusnya mewakili pertanyaan yang lain, bagaimana seharusnya seorang muslimah bersikap ketika suatu hari, sesudah usia pernikahannya memasuki angka lima belas, menemukan realita yang sungguh menyakitkan; suaminya menikah lagi?

Lewat Istana Kedua, Asma Nadia memberi ruang selebar mungkin kepada para pembaca untuk memilih sendiri solusinya. Mau seperti pilihan Arini atau pun sebaliknya.

Membaca novel Istana Kedua ini, ada beberapa fakta yang sangat menarik untuk dicermati. Yang pertama, bahwa setiap manusia memiliki sifat dasar yang sama, khususnya masalah ketertarikan terhadap lawan jenis.

Sebelum masa-masa galaunya, Arini sering mendengar keluhan tentang kehidupan rumah tangga sahabat-sahabatnya dulu. Dan semuanya bermuara pada masalah yang sama; perselingkuhan, meskipun motif dan jalan yang dipilih oleh masing-masing mereka berbeda. Padahal, dulunya, sebagian dari sahabat-sahabatnya itu adalah aktivis dakwah kampus. Hal ini seolah mempertegas bahwa masa depan tak pernah bisa diduga-kira.

Fakta yang lain adalah tentang kelemahan lelaki dalam menghadapi daya tarik fisik wanita. Dan hal itulah yang mungkin menyebabkan Freud, salah seorang pakar dalam bidang ilmu psikologi sempat mencetuskan teori psikoanalisa, yang menyebutkan bahwa hal mendasar yang menggerakkan seluruh komponen tubuh manusia adalah keinginan seksual.

Tokoh Andika Prasetya dalam novel ini menjadi salah satu contohnya. Ketidakmampuan Pras untuk membentengi diri dari perzinaan dengan perempuan cina-Mei Rose yang ditolongnya-lah yang kemudian membuat Pras mengambil keputusan untuk menikahi perempuan tersebut. Kenyataannya, pernikahan itu bukan hanya didasari oleh rasa kasihan Pras, tetapi juga oleh nafsu kelelakiannya saat berhadapan dengan makhluk yang bernama wanita.

Status yang didapatkan setelah satu kesalahan yang mereka buat malam itu. Ketika ia tidak bisa lagi menolak Mei Rose.

Setiap tulisan sudah seharusnya memiliki “tujuan”. Terlebih tulisan dari para anggota FLP, suatu forum kepenulisan di mana Asma Nadia juga tergabung di dalamnya, tak pernah keluar dari jalur “tujuan” tersebut. Dan jika ditanya, apa yang menjadi tujuan buku ini, jawabannya mengarah pada poligami. Pada bagian ke-21, lewat tokoh Pras, Asma Nadia mengungkapkan pendapatnya yang sangat cerdas tentang poligami tanpa ada kesan menggurui sedikit pun. Istimewanya lagi, lewat novel ini, Asma Nadia mampu mengeksplorasi perasaan masing-masing tokoh, yaitu Arini-sebagai istri pertama, Mei Rose-istri kedua, dan Andika Prasetya-selaku suami dengan sangat baik.

Terlepas dari teknik penceritaannya dan banyak hal lain yang sungguh memikat dalam buku ini, terdapat beberapa kejanggalan terkait dengan logika bercerita. Ketika Pras secara kebetulan menolong Mei Rose, kenapa pada hari-hari berikutnya, Pras tidak mengajak Arini ikut serta untuk menjenguk Mei Rose. Bukankah perempuan seharusnya lebih mengerti perasaan perempuan yang lain? Dan dalam pandangan agama, tentunya itu jauh lebih baik dan aman.

Kejanggalan berikutnya, bagaimana mungkin Pras mampu membohongi Arini dalam jangka waktu yang begitu lama, lebih dari tiga tahun tanpa ada perasaan bersalah, kecuali yang dimunculkan pada saat detik-detik terakhir dari cerita. Lagi pula, Pras menikahi Mei Rose setelah lelaki itu terjebak dalam sesuatu yang diistilahkan “jurang kehinaan”. Bagi seorang laki-laki dengan background agama yang kuat, seharusnya perasaan bersalah terus menghantui kehidupan Pras karena pernikahan tidak akan mampu membersihkan Pras dari dosa yang telah diperbuatnya.

Dan yang terakhir, betulkah Pras mencintai Arini? Karena pada akhir cerita, ternyata Pras lebih memilih Mei Rose. Padahal, anak yang dimiliki Mei Rose bukanlah anak kandung Pras. Atau memang seperti itukah wujud sebenarnya cinta? Kerap menghadirkan bahagia dan luka. Mei Rose yang bahagia, Arini yang terluka.

Arini berhenti berlari. Tak lagi berusaha menghindar dari luka. Sebaliknya, seperti busa, tubuh Arini perlahan mengisap anak-anak panah yang menyimpan perih itu semakin dalam, hingga menyatu dalam diri.

Paragraf di atas sekaligus menjadi ending cerita. Namun, benarkah Arini memilih untuk berhenti berlari? Seperti itukah wajah perempuan indonesia masa kini dalam menghadapi masalah poligami? Istana Kedua, pilihan yang tepat untuk mengisi waktu luang anda.

Tidak ada komentar: